Kehidupan kita sangat erat dengan hal-hal yang berbau kompetisi. Saling adu pikiran, adu kekuatan, kecerdasan, keahlian, bahkan adu kecantikan. Lalu masing-masing pihak mempersiapkan segala detail sebelum berkompetisi dengan begitu matang. Masing-masing mengumpulkan berbagai data, menyusun rencana, pun melakukan berbagai cara guna menjadi pemenang. Apakah kalian sering menemukan situasi tersebut?
Sumber: Unsplash |
Kompetisi adalah seni. Seni menjalankan strategi, baik itu dengan cara yang normal atau dengan cara
yang licik. Di kampus misalnya, seberapa sering Anda menemukan teman Anda saat
ujian yang berpura-pura bodoh kemudian mengumpulkan kertas ujian paling akhir tetapi
saat keluar hasil nilainya paling tinggi. Di kantor tempat Anda bekerja,
seberapa sering Anda menemukan teman kerja Anda yang berpura-pura tidak
mengerti tentang suatu hal demi menarik perhatian Anda atau atasan Anda. Juga
seberapa sering berpura-pura bodoh menyelamatkan kita disaat situasi
sedang tidak berpihak kepada kita?
Orang-orang yang mampu menguasai
dirinya dan emosionalnya lebih mudah dan cenderung dapat melakukan trik
“berpura-pura” tersebut. Lalu mengapa kita sering tertipu? Mengapa kita sering
kalah tanpa kita sadari terhadap orang-orang yang berpura-pura bodoh tersebut? Ini keadaan yang barangkali menyakitkan, tetapi inilah kenyataannya. Sering
kali dengan berpura-pura bodoh kita dapat menjalankan visi dan misi kita secara lebih
flexibel. Kembali ke pertanyaan tadi, mengapa kita sering tertipu dan kalah?
Jawaban sederhananya ialah karena sifat alamiah manusia itu sendiri, yaitu
cenderung untuk menolong dan membantu orang yang kesusahan (termasuk tidak
tahu). Di samping itu, pada mereka yang mampu melakukan hal ini, tidak
berlebihan bila diberikan title ‘pintar’. Inilah pintar yang sebenarnya,
yaitu seseorang yang mengenali kemampuan dirinya lalu menggunakannya pada
situasi yang tepat.
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Roger Dawson, pada suatu waktu ia menghadapi lawan negosiasinya dengan cara berpura-pura bodoh dengan menanyakan definisi sebuah kata jika lawan berkata. “Roger, ada beberapa kerancuan dalam kontrak ini,” begitu lawannya bertanya, lalu tanpa ragu Roger memasang ekspresi ketidaktahuan “Kerancuan.. kerancuan… hmmm, sepertinya saya pernah mendengar kata itu sebelumnya, tapi saya tidak merasa yakin apa artinya. Bisakah Anda menjelaskan kepada saya?."
Di
bagian lain, Roger menuliskan, mungkin saya akan mengatakan “Bisakah Anda
menjelaskannya sekali lagi? Saya tahu Anda telah menjelaskannya beberapa kali,
tapi karena suatu hal, saya tidak dapat memahaminya. Anda tidak keberatan,
bukan?” hal itu membuat lawan akan berpikir; “Betapa anehnya orang yang saya
hadapi ini.” Lebih lanjut Roger menjelaskan bahwa itu adalah cara dia supaya
dapat menurunkan semangat bersaing yang dapat membuat kesepakatan sulit untuk
dicapai. Akhirnya pihak lawan berhenti untuk melawan dan mulai berusaha
membantu dia. Secara gamblang, Roger juga berpesan dalam tulisannya “ketika
Anda bernegosiasi, Anda lebih baik berpura-pura tahu lebih sedikit daripada
pihak lawan, jangan terlihat lebih tahu. Semakin Anda berpura-pura bodoh,
semakin baik posisi Anda kecuali IQ Anda turun sampai pada suatu titik dimana
Anda tidak punya kredibilitas.”
Apakah kita sering
menemui pertanyaan ini ‘Saya tidak tahu, bagaimana menurut Anda?’ jika iya, apa
yang pertama muncul dipikiran kita? Kemungkinan terbesar masing-masing kita
akan mengalami gejala penurunan intensitas tensi kita untuk bersaing lebih
serius (lebih agresif) terhadap nya. Rasa kasihan akan menguasai kita, lalu dengan
atau tanpa sengaja kita akan melakukan sesuatu untuk menolongnya. Hal ini lah
mengapa kebanyakan orang justru akan lebih kuat keinginannya untuk bersaing
dengan orang yang mereka anggap lebih pintar, namun cenderung lebih menolong terhadap orang yang mereka anggap kurang pintar.
Dalam situasi yang tepat, berpura-pura bodoh akan menyelamatkan seseorang. Pintar itu bodoh,
berpura-pura bodoh itu pintar. Fenomena ini sering kita temui dalam kehidupan, dimulai dari lingkungan kecil hingga sebuah negara. Berapa banyak dari kita
yang menemukan calon kepala daerah atau kepala negara saat berkampanye turun
langsung ke jalan-jalan, desa-desa, pelosok-pelosok sekedar menanyakan dua hal
“Permasalahan dan keinginan” yang sebenarnya kedua hal tersebut telah mereka ketahui
lewat data-data berupa laporan kinerja pemerintah atau lewat media massa yang
memberitakan? Kemudian secara meyakinkan mereka mulai menebarkan
harapan-harapan perubahan pada masyarakat. Janji-janji terbaik pun bermunculan
lewat udara. Akhirnya, berapa banyak dari kita yang tertipu dengan aksi
tersebut? Tanpa dipungkiri, mereka berhasil memenangkan pemilu dengan cara
“berpura-pura” tersebut.
Demikian pula di berbagai
sendi kehidupan, cara berpura-pura bodoh terkadang lebih efektif
dijalankan. Mulai dari kehidupan kampus dalam pengerjaan tugas, proyek, tugas
akhir atau skripsi. Saat berdiskusi atau saat nongkrong sambil ngopi,
berpura-pura tidak tahu bahkan dapat membuat lawan bicara kita berkata lebih
dalam dan lebih jujur kepada kita. Begitulah tulisan ini diakhiri, tidak ada
orang yang bermuka dua. Sebaliknya yang ada adalah orang yang bermuka lebih
dari satu.
Posting Komentar
Gunakan kata yang baik dan sopan dalam berkomentar ya