Kisah ini merupakan renungan bagi kita yang saat ini sedang berada di fase hijrah menuju-Nya. Sebab, perjalanan hijrah bukanlah sebuah perjalanan yang mudah, akan banyak sekali ditemui persimpangan jalan, tanjakan terjal dan memang begitulah seharusnya untuk menguji hamba Allah yang benar memiliki kesungguhan hati dalam menggapai cinta-Nya.
Manshur bin Ammar merupakan salah satu orang yang terkenal
zuhud pada masanya. Beliau menyampaikan sebuah kisah nyata yang penuh sarat hikmah. Dulu, ia memiliki seorang teman yang melampaui batas. Lalu, bertaubat. Setelah
bertaubat temannya ini berubah secara drastis, ibadahnya menjadi lebih rajin
bahkan shalat tahajud ia laksanakan.
Setelah sekian lama mereka tidak berjumpa, sehingga putuslah
komunikasi di antara keduanya. Manshur bin Ammar berkeinginan untuk menjumpai
temannya. Didapatkanlah sebuah informasi rumah temannya tersebut, sekaligus
kabar buruk bahwa temannya sedang sakit di rumahnya. Maka bergegaslah ia menuju
rumah sang teman.
Setibanya Manshur bin Amar di rumah temannya, terlihatlah
temannya terbaring tak berdaya. Karena khawatir ini merupakan detik-detik
terakhir temannya, Manshur bin Ammar berkata, “Wahai saudaraku, perbanyaklah
mengucap Laa Illaha Illallaah.”
Mendengar ucapan Manshur bin Amar, sang teman hanya melihat
Manshur bin Amar dengan sebuah tatapan aneh tanpa berkata sepatah kata pun.
Manshur bin Ammar sedikit kebingungan dan mengulangi ucapannya, barangkali sang
teman tidak mendengarkan terlalu jelas, “Wahai saudaraku, perbanyaklah mengucap
Laa Illaha Illallaah.” Untuk kedua kalinya si teman tidak berbicara sedikit
pun dan hanya memelototinya.
Hingga, untuk ketiga kalinya Manshur bin Amar mengulangi
perkataanya. Barulah si teman menjawab perkataan Manshur bin Ammar, “Wahai
saudaraku sesungguhnya aku terhalang dari kalimat itu.”
“La haula wa la quwwata Illa billah. Wahai saudarakau, ke
mana shalat-shalat yang selama ini kamu lakukan itu? Kemana puasa-puasa dan
tahajud-tahajudmu itu?” Manshur bin Ammar bertanya keheranan.
Ia menjawab, “Aku melakukan itu semua bukan untuk Allah dan
taubatku palsu. Sebenarnya aku melakukan ibadah-ibadah itu supaya orang-orang
memujiku. Aku melakukannya dengan maksud ingin terlihat hebat oleh manusia.
Tatkala aku seorang diri, aku masuk ke dalam rumah kututup pintu-pintu,
menurunkan tirai-tirai, kemudian aku menegak khamer dan menantang Tuhan dengan
kemaksiatan-kemaksiatan.” Jawabnya.
Ia melanjutkan ceritanya kenapa ia bisa seperti ini. Dulu
ketika ia menderita penyakit parah, ia begitu menderita dan tersika. Sampai ia
mengira bahwa sebentar lagi ia akan wafat. Ia pun mengambil mushaf dan berdoa,”
Ya Allah, demi kebenaran Al-Quran yang agung, semuhkanlah aku. Dan aku berjanji
tidak akan kembali melakukan dosa untuk selamanya.”
Allah dengan segala kebaikan-Nya memberikan kesembuhan itu.
Tapi alih-alih menepati janji. Sang teman ingkar atas janjinya dan kembali terlena
dalam berbuat maksiat. Ketika waktunya datang, sang teman kembali jatuh sakit
parah seperti sebelumnya. Lalu, ia meminta keluarganya untuk membawaknya
mushaf, dan ia pun kembali berdoa, “Ya Allah, demi kehormatan apa yang ada di dalam
Al-Quran yang mulia ini, aku mohon bebaskanlah aku dari penyakitku.” Maka Allah
mengabulkan permintaannya dan menyembuhkan penyakitnya.
Sayang, alih-alih memetik hikmah dari sakit yang pernah ia
derita. Sang teman kembali lagi ingkar dan berbuat maksiat, tenggelam dalam
kebiasaan lamanya. Dan untuk kali ini Allah timpakan lagi sebuah penyakit
kepadanya. Ia begitu menderita dan tersiksa.
Kemudian ia
melanjutkan cerita kondisi dia sekarang, “Aku lalu meminta
mushaf kepada keluargaku, namun anehnya tak satupun huruf yang terlihat. Aku
pun mulai sadar, Allah kali ini benar-benar murka. Aku pun menengadahkan wajah
ke langit sembari berkata, ‘Ya Allah, demi kehormatan apa yang ada di dalam
Al-Quran yang mulia ini, aku memohon agar engkau memberikan kesembuhan padaku
wahai penguasa langit dan bumi….’
Setelah mengatakan itu, tiba-tiba aku mendengar suara yang berkata
memanggilku,
‘Wahai manusia bila sakit tiba kalian segera bertaubat.
Begitu sembuh kalian kembali berbuat maksiat. Betapa banyak kesulitan telah
Kami hilangkan? Berapa banyak ujian telah Kami selamatkan? Kalian takut datangnya
cobaan, namun perbuatan dosa tidak pernah kalian tinggalkan….’”
Tak lama kemudian sang teman menghembuskan nafas terakhir.
Manshur bin Ammar berkata, “Sungguh demi Allah aku keluar dari rumahnya dengan
air mata tertumpah merenungkan ‘ibrah yang baru kulihat, dan belum sampai di
pintu rumahku, sampailah kabar bahwa dia sudah meninggal.”
***
Wahai sobat baceday, jika hari ini kita mengalami kesulitan
dalam meninggalkan maksiat. Boleh jadi ada yang salah pada niat kita berhijrah.
Sungguh tak selayaknya kita bermain-main dengan taubat. Tak selayaknya hijrah
kita kepada Allah dijadikan sebagai bentuk pamer mengharapkan sanjungan dan
pujian manusia serta keuntungan dunia lainnya.
Mari kita luruskan niat kita berhijrah hanya kepada Allah. Hanya
niat yang tulus dan ikhlas yang akan sampai kepada Allah. Maka Allah pun akan
membantu perjalanan hijrah ini. Dan kita pun akan mendapatkan hijrah
sesungguhnya, pulang sutuhnya kepada Allah.
Referensi : Sumber: Mi’ah
Qishash wa Qishah fi Anis ash-Shalihin wa Samir al Muttaqin, Muhammad Amin al Jundi, (edisi Indonesia: 101
kisah teladan, Mitra Pustaka Yogyakarta, Cet XI November
2006).
Posting Komentar
Gunakan kata yang baik dan sopan dalam berkomentar ya